Home / Pendidikan / Menilik Fenomena Fomo lewat Perspektif Islam

Menilik Fenomena Fomo lewat Perspektif Islam

Oleh: Lisnawati

Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab Dan Dakwah Universitas Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe

Kita perlu menyadari bahwa apa yang ditampilkan di media sosial seringkali hanyalah panggung depan yang telah dikurasi dengan baik. Di baliknya, setiap orang memiliki perjuangan dan ujiannya sendiri. Dengan tidak mudah percaya pada citra yang tampak sempurna, kita dapat melindungi hati kita dari ekspektasi yang tidak realistis.

Di era digital ini, linimasa media sosial telah menjadi jendela dunia bagi kita. Setiap hari, kita melihat sekilas kehidupan orang lain: liburan eksotis, kesuksesan karier, dan momen-momen indah yang dihabiskan bersama. Namun, paparan yang terus-menerus ini seringkali memicu kecemasan dan kegelisahan, yang dikenal sebagai rasa takut ketinggalan (FOMO). Fenomena ini secara bertahap dapat mengikis rasa percaya diri kita dan mendorong kita ke gaya hidup yang tidak autentik hanya demi validasi. Jadi, bagaimana Islam, sebagai panduan hidup, dapat menawarkan solusi untuk kecemasan modern ini?

FOMO pada hakikatnya dihapus dari kebiasaan membandingkan diri (perbandingan sosial). Sifat-sifat tercela seperti hasad (dengki) dan bahkan riya’ (pamer). Sarana silaturahmi menjadi arena Kompetisi terselubung, di mana kebahagiaan diukur dari jumlah ‘likes’ dan komentar. Islam menawarkan perspektif fundamental untuk mengatasi masalah ini: rasa syukur. Rasa syukur lebih dari sekadar mengucapkan “Terima kasih, Allah.” Rasa syukur adalah seni, berfokus pada nikmat diri sendiri, alih-alih pada kemewahan orang lain. Dalam Al-Qur’an, pada ayat ketujuh Surat Ibrahim, Allah berfirman: “Dan ketika Tuhanmu berfirman: ‘Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmatmu; dan jika kamu enggan, niscaya azab-Ku akan sangat besar.”

Ayat ini menyampaikan pesan yang kuat. Dengan hati yang bersyukur, fokus kita beralih dari apa yang tidak kita miliki kepada apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Dengan rasa syukur, kita tidak lagi merasa “tersesat” karena kita menyadari bahwa setiap orang memiliki jadwal dan rencananya masing-masing, dan semuanya berjalan dengan sempurna.

Namun, jika digunakan untuk menyebarkan inspirasi, pengetahuan, dan niat baik sebuah, bentuk misi digital untuk zaman kita teknologi ini juga dapat menjadi ladang pahala. Marilah kita gunakan teknologi ini dengan bijak, dengan rasa syukur yang mendalam. Selain itu, Islam juga mengajarkan prinsip tabayyun atau verifikasi. Kita perlu menyadari bahwa apa yang ditampilkan di media sosial seringkali hanyalah panggung depan yang telah dikurasi dengan baik. Di baliknya, setiap orang memiliki perjuangan dan ujiannya sendiri. Dengan tidak mudah percaya pada citra yang tampak sempurna, kita dapat melindungi hati kita dari ekspektasi yang tidak realistis.

Tinggalkan Balasan