Oleh; Misna Mira
Penulis Merupakan Mahasiswi Fakultas Ushuluddin Adab Dan Dakwah Universitas Islam Negeri Lhokseumawe
Aku sering bertanya pada diri sendiri, kenapa Allah memilihku untuk menjalani dua jalan sekaligus: menjadi mahasiswi dan mahasantri di ma’ had ,Sedangkan teman-temanku hanya fokus pada perkuliahan, aku harus bangun sebelum subuh untuk shalat berjamaah, menghafal ayat Al-Qur’an, dan mengikuti pengajian sesudah sholat subuh dan belajar kelas bahasa (arab, inggris) Setelah itu, tanpa banyak jeda, aku harus berlari mengejar jadwal kuliah yang sudah menunggu.
Dan kadang aku iri melihat mahasiswi lain yang bisa bangun sesuka hati, sarapan santai sambil membuka ponsel, lalu berangkat kuliah tanpa terburu-buru. Sedangkan aku harus menahan gantuk sambil mengulang hafalan Qur’an agar tidak terlepas begitu saja. Pernah suatu pagi aku nyaris tertidur dalam kelas karena semalaman mengerjakan makalah selepas muroja’ah malam. Ketika dosen memanggil namaku untuk presentasi, aku bahkan tidak yakin apakah suaraku nantinya keluar dari mulut ku terdengar jelas.
Namun setiap kali rasa lelah itu datang, aku teringat satu hadis Rasulullah ﷺ yang pernah aku dengar dalam kajian malam, “Tidak ada seseorang yang diberi sebuah pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis itu seperti tamparan lembut,aku sadar capek ini bukan hukuman tapi ini latihan jiwa.
Tinggal di ma’had membuatku belajar mengatur waktu dengan paksa. Di luar, orang menyebutnya disiplin. Di sini, aku menyebutnya bertahan hidup. Ada kalanya aku harus memilih: lanjut mengerjakan tugas kuliah atau tidur sebentar sebelum subuh dan ada masanya juga ketika aku ingin menyerah, merasa tidak sanggup lagi menjalani dua dunia yang berjalan dengan ritme yang berbeda.
Dan anehnya, setiap kali aku merasa ingin berhenti, selalu ada kekuatan tak terlihat yang mendorongku untuk terus melangkah,mungkin itu keberkahan dari doa orang tua, mungkin juga karena Allah sedang menjagaku agar tetap berada di jalan yang benar. Sekarang aku mulai memahami, ternyata lelahku bukan sekadar untuk meraih nilai IPK atau gelar sarjana. Tapi untuk membentuk diriku menjadi orang yang kuat. Di kampus aku belajar berpikir dan ilmu duniawi tapi di ma’had aku belajar merasa dan luasnya arti dari kesabaran. Di kelas aku melatih akal, tetapi di depan Al Qur’an aku melatih hati.
Jika suatu hari nanti aku lulus, aku tidak ingin hanya dikenal sebagai mahasiswi biasa. Aku ingin menjadi seseorang yang pernah jatuh tapi bangkit, pernah rapuh tapi memilih sabar. Karena aku yakin, keberhasilan bukan tentang seberapa cepat aku tiba, tetapi seberapa ikhlas dan sabar aku bertahan.
Dan jika suatu saat nanti ada yang bertanya, “Apa hal paling berharga yang kamu dapat dari kuliah sambil ma’had?” Maka jawabanku sederhana, Kesabaran. Dan kesabaran itu tidak aku pelajari dari buku, tapi dari hari-hari yang melelahkan, namun tetap aku jalani dengan harapan bahwa Allah sedang menyiapkan hadiah terbaik di ujung perjuangan ini.









