Home / Pendidikan / Berkomunikasi Dengan Allah

Berkomunikasi Dengan Allah

Oleh; Dr. Kamaruzzaman,. M.A

Penulis Merupakan Dosen Pascasarjana UIN Lhokseumawe

Semua mahluk hidup pada dasarnya berkomunikasi. Jangankan manusia yang diberkahi akal budi, binatang saja pada dasarnya melakukan komunikasi dengan sesamanya dan dengan manusia pula. Komunikasi sebagai praktik sudah ada seiring dengan diciptakannya manusia, dan manusia menggunakan komunikasi dalam rangka melakukan aktivitas sosialnya. Karenanya manusia tidak mungkin tidak berkomunikasi. Komunikasi merupakan proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam. Menurut Wilbur Scharmm komunikasi sebagai proses yang memiliki tujuan untuk membangun kesamaan antara sumber dan penerima pesan. Ketika seorang ingin berkomunikasi maka ia harus bisa menerjemahkan pikiran dan perasaan yang akan disampaikan ke penerima dalam suatu bentuk yang dapat ditransmisikan. Setelah sampai ke tujuan menurut Schramm, kemudian akan terjadi tanggapan balik.

Dalam Islam sejatinya komunikasi antara manusia dengan Allah SWT adalah kunci atau landasan bagi komunikasi yang lain. Dalam hubungan individu, kelompok, organisasi maupun praktek komunikasi massa tidak bisa dilepaskan dari komunikasi hamba dengan Allah SWT. Bentuk-bentuk komunikasi antara hamba dengan Allah SWT terwujud dalam beragam ibadah yang dijalaninya. Ritual ibadah tidak hanya persoalan kebiasaan, gerakan fisik, tetapi juga mengandung komunikasi yang intensif. Beberapa diantaranya adalah sholat, dzikir, membaca Al quran, dan berdoa.

Sholat didefiniskan sebagai aktifitas ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dalam rangkaian sholat tersebut terdapat beragam proses ibadah baik yang berupa amalan hati, amalan lisan, maupaun gerakan badan. Amalan hati berupa niat ketika manusia secara ikhlas menyatakan kepada Allah SWT bahwa ibadah sholat yang dilakukannya tidak ditujukan kepada yang lain. Melalui lisannya manusia membaca ayat suci dan berdoa sebagai bentuk permohonan, penghambaan dan pasrah diri secara total.

Aktifitas berdoa yang dilakukan oleh manusia menjadi bentuk lain dari komunikasi antara manusia dengan Allah SWT. Dalam doa manusia memanjatkan segala keinginannya, meminta segala kebutuhannya, meminta jalan keluar dari persoalan yang dihadapi, memohon ampunan dan lainnya. Dia berkomunikasi dengan Allah SWT dalam pekatnya sepertiga malam yang terakhir. Ketika sebagian besar manusia terlelah dalam buaian mimpi. Dalam Islam segala aktifitas komunikasi yang dilakukan oleh manusia tidak boleh lepas dari kerangka aturan yang telah ditetapkan syariat. Karena itu persoalan jujur, tidak mengadu domba, tidak memfitnah, tidak bergunjing dalam komunikasi bukan hanya memenuhi hak sesama manusia tetapi juga memenuhi kewajiban syariat yang telah ditetapkan.

Allah sebagai mitra komunikasi kita yang harus kita sembah tidak mungkin mempersepsi kita secara keliru dan tidak mungkin memberi tanda-tanda yang menyesatkan kita. Tanda-tandanya begitu jelas dan jernih dan ada dimana-mana, kitalah yang harus peka mengenal dan secara tepat mempersepsi tanda-tanda-Nya. Kekeliruan mempersepsi tanda-tanda-Nya itu akan berakibat fatal bagi kita, jauh lebih fatal daripada akibat kekeliruan mempersepsi lambang-lambang manusia.Akibat kekeliruan mempersepsi ini adalah hukuman dari Allah yaitu dihukum di neraka yang panas membara. Allah menyebut orang yang melakukan kekeliruan ini sebagai binatang, bahkan lebih sesat lagi, karena tidak mau menggunakan mata mereka untuk melihat dan tidak mau menggunakan telinga mereka untuk mendengar, Allah berfirman dalam surat Al-A’raaf ayat 179.: Sesungguhnya telah kami sediakan untuk penghuni neraka itu banyak jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi mereka tidak mempergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat, menghayati tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat Allah. Mereka tidak ubahnya seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka orang-orang yang alpa.

Dapat disimpulkan Komunikasi Transendental secara teoritis dapat diartikan sebagai salah satu wujud berpikir mengenai bagaimana menemukan hukum-hukum alam dan   keberadaan komunikasi manusia dengan Allah SWT atau antara manusia dengan kekuatan yang di luar. Kemampuan  pikir manusia  tahu  keberadaannya  dilandasi  oleh  rasa  cinta (mahabbah) tanpa pamrih. Itulah sebabnya mengapa kita sering merasakan  adanya firasat  tertentu mengenai apa yang akan atau sedang terjadi pada orang-orang yang kita kasihi. Cinta tulus tanpa pamrih menjadi syarat dari munculnya Komunikasi Transendental.

Tinggalkan Balasan