Home / Mahasiswa / Buku: Bukan Sekedar Tumpukan Kertas, Tapi Pintu Gerbang Revolusi Intelektual dan Spiritual Kita

Buku: Bukan Sekedar Tumpukan Kertas, Tapi Pintu Gerbang Revolusi Intelektual dan Spiritual Kita

Oleh: Zikratul Munawarah

Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Universitas Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe

Sebagai mahasiswa yang sedang berjuang menuntut ilmu, ada satu perintah langit yang fundamental, yang seringkali kita lupakan di tengah hiruk pikuk tugas dan deadline kampus: “Iqra!” Bacalah! (QS. Al-Alaq: 1). Perintah ini bukan sekadar kebetulan, tapi statement tegas dari Allah SWT bahwa fondasi peradaban kita adalah ilmu, dan kunci pertamanya adalah membaca. Dalam konteks kehidupan kita, perintah “Iqra” ini bermanifestasi paling nyata dalam benda yang sering kita sebut “Buku”. Bukan cuma tumpukan kertas di rak, tapi Jendela Ilmu yang Menerangi Ruang Gelap Kebodohan dalam diri kita. Sudah saatnya kita sebagai kaum intelektual meng-upgrade pepatah lama: buku bukan hanya jendela dunia, tapi pintu gerbang revolusi intelektual dan spiritual kita.

Secara intelektual, buku adalah tools utama kita untuk survive di era distrupsi informasi ini. Seorang muslim yang kokoh imannya tapi rapuh ilmunya akan sulit berkontribusi optimal. Membaca buku—mulai dari referensi akademik, jurnal, hingga buku self-development—itu ibarat kita meng-install software baru ke dalam otak. Kita jadi up-to-date, wawasan kita luas, dan cara pandang kita nggak gampang goyah oleh hoax atau opini instan. Lebih dari itu, secara spiritual, menuntut ilmu melalui buku adalah fardhu ‘ain (wajib). Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” Buku-buku Islam adalah ‘jendela’ yang menghubungkan kita langsung ke sumber kebijaksanaan, memastikan kita bukan hanya pintar di dunia, tapi juga on the track menuju ridha-Nya di akhirat.

Yang membuat buku luar biasa, ia adalah mesin waktu dan teleportasi paling epic. Saat kita membaca sejarah, kita bisa meretas batasan waktu, belajar langsung dari pemikiran para ulama dan ilmuwan terdahulu tanpa harus ketemu face-to-face. Ini adalah kebebasan hakiki. Membaca buku memaksa kita untuk fokus, analitis, dan mendalam, jauh berbeda dengan scrolling di media sosial yang cenderung membuat kita dangkal dan gampang terdistraksi. Kualitas fokus dan analisis inilah yang sangat dibutuhkan oleh calon pemimpin bangsa.

Maka, tantangannya sekarang adalah melawan godaan binge-watching dan scrolling tanpa arah. Solusinya adalah merubah mindset: jangan jadikan membaca sebagai beban, tapi sebagai ‘Healing Intelektual’. Coba alokasikan minimal 15-30 menit sehari. Terapkan prinsip Tadabbur-seperti merenungkan makna Al-Qur’an, kita juga harus merenungkan, mengkritisi, dan menghubungkan ilmu dalam buku dengan realitas kehidupan. Gaes, masa depan peradaban Islam dan bangsa ini sangat bergantung pada kualitas intelektual kita. Jangan biarkan smartphone lebih pintar dari penggunanya. Mari kita buka jendela ilmu ini selebar-lebarnya, bukan hanya mengintip, tapi masuklah, serap ilmunya, dan jadilah Ulul Albab (orang-orang yang berakal) yang sejati.

Tinggalkan Balasan