Oleh; Misrini Anjarwati
Penulis Merupakan Mahasiswa Komunikasi Dan Penyiaran Islan UIN SUNA Lhokseumawe
Di tengah arus informasi global yang mengalir begitu cepat, kebebasan pers menjadi salah satu tanda kemajuan sebuah bangsa. Melalui media, masyarakat memperoleh informasi, menyalurkan aspirasi, sekaligus mengawasi jalannya kehidupan sosial. Namun di balik kebebasan itu, muncul pertanyaan penting: sejauh mana pers mampu menjaga kebenaran dan etika dalam setiap penyampaian informasi? Pers memiliki peran vital sebagai pilar keempat demokrasi—penyampai berita, pembentuk opini, dan pengontrol sosial. Akan tetapi, di era digital saat ini, batas antara fakta dan opini sering kali kabur. Kecepatan publikasi kerap mengalahkan ketelitian verifikasi. Banyak media terjebak dalam persaingan rating, klik, dan popularitas, hingga melupakan esensi utama jurnalistik: menyampaikan kebenaran dengan tanggung jawab.
Dari perspektif komunikasi Islam, kebebasan tidak berarti tanpa batas. Islam mengajarkan bahwa setiap kata dan pesan memiliki nilai moral yang akan dipertanggungjawabkan. Komunikasi bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga sarana dakwah dan penyebaran nilai-nilai kebaikan. Seorang komunikator—termasuk jurnalis—didorong untuk menyampaikan berita dengan niat yang tulus, tujuan yang mulia, dan menjauhkan diri dari kepentingan pribadi maupun sensasi semata.
Al-Qur’an menegaskan prinsip tabayyun dalam Surah Al-Hujurat ayat 6, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya…”
Ayat ini mengajarkan pentingnya memeriksa kebenaran sebelum menyebarkan informasi. Prinsip tabayyun menjadi landasan moral yang sangat relevan bagi dunia pers modern. Dalam praktik jurnalistik, tabayyun identik dengan proses verifikasi dan konfirmasi sumber berita—bagian inti dari kode etik wartawan. Dengan memegang nilai ini, kebebasan pers dapat berjalan seiring dengan kejujuran dan tanggung jawab.
Selain tabayyun, komunikasi Islam juga menekankan amanah dan adab dalam berbicara. Media yang amanah tidak akan menyelewengkan fakta atau menyebarkan fitnah. Dalam konteks modern, ini berarti komitmen media untuk menjaga transparansi, akurasi, dan netralitas. Wartawan yang berpegang teguh pada kejujuran sejatinya tengah mengamalkan ajaran Islam dalam profesinya.
Namun menjaga kebebasan pers bukan hanya tugas jurnalis semata. Masyarakat pun memiliki peran penting. Publik yang cerdas dan kritis tidak mudah percaya pada berita tanpa sumber yang jelas. Literasi media menjadi benteng utama melawan hoaks dan disinformasi. Ketika masyarakat dan media sama-sama menjunjung etika komunikasi, ruang publik akan menjadi lebih sehat, beradab, dan produktif.
Dalam pandangan komunikasi Islam, kebebasan pers harus berjalan seiring dengan nilai-nilai keadilan (al-‘adl) dan kebenaran (al-haq). Pers bukan sekadar alat penyampai informasi, melainkan penjaga moral masyarakat. Jika kebebasan digunakan untuk menegakkan kebenaran, maka media akan menjadi cahaya penerang; namun jika disalahgunakan, ia dapat berubah menjadi sumber kegelapan informasi. Akhirnya, kebebasan pers dalam cahaya komunikasi Islam bukan hanya tentang hak untuk berbicara, tetapi juga tentang tanggung jawab moral untuk berkata benar. Media yang beretika, jurnalis yang berintegritas, dan masyarakat yang kritis adalah tiga kekuatan utama bagi terciptanya kehidupan informasi yang berkeadilan, jujur, dan bermartabat.









